Selasa, 23 Agustus 2016

Di Toilet Mall

Halo, apa kabar para pembaca semua? Gimana pendapat kalian soal ceritaku yang pertama yang judulnya “Pengakuan: Memerawani Brondong Straight”? Yah, biarpun nggak bisa dibilang sukses, tapi aku bersyukur akhirnya bisa menghasilkan cerita pertama dari serial “Pengakuan” ini. Nah, dalam cerita kedua ini, aku ingin menceritakan pengalaman salah seorang temanku. So, selamat membaca.
***
Minggu, 21 Oktober 2012
Aku sih nggak munafik ya. Daripada sok cool dan macho padahal doyan kontol, aku lebih nyaman jadi diriku apa adanya. Kalo dibilang melambai, sebenarnya nggak juga. Aku nggak pernah foto-foto alay atau berpenampilan over. Tapi penampilanku memang cukup memberi sinyal untuk mereka yang mengerti, kalau aku sebenarnya gay.
Aku punya hobi ke mall. Yah, apalagi kalau bukan untuk berburu kontol! Nah, di Surabaya ini ada satu mall gede yang entah kenapa sering jadi tempat kumpul para gay atau biseks (mungkin pembaca yang pernah tinggal atau lagi berdomisili di Surabaya tahu tempat yang aku maksud). Dibandingkan dengan mall-mall lain, entah kenapa aku lebih mudah menemukan mangsaku di tempat itu. Karena itu tak heran kalau aku rajin berkunjung ke sana.
Hari itu, aku juga pergi ke mall tersebut. Tujuan pertamaku adalah toilet. Satu toilet nggak ada orang. Aku pun pergi ke toilet yang lain. Ternyata juga lagi kosong. Nggak putus, asa akhirnya aku pergi ke toilet ketiga. Nah, saat itulah aku ketemu dengan seorang cowok yang lagi kencing di urinal. Dia lagi pakai kemeja putih lengan panjang dan celana jeans. Sebenarnya dia nggak menarik perhatianku sama sekali. Wajahnya, kalau boleh kejam dikit, ndeso banget. Rambutnya juga, biarpun keliatan lurus banget, tapi dimodel sedikit menutupi dahi macam Andika Kangen Band. Pokoknya nggak ada harapan deh. Tapi berhubung aku juga pengen kencing, akhirnya aku berdiri juga di sampingnya.
Saat kencing itu, aku nggak memperhatikan cowok di sampingku sama sekali. Aku justru asyik dengan pikiranku sendiri, menyusun rencana berburuku hari itu. Eh, begitu aku lihat ke samping ternyata tanpa sadar dari tadi cowok itu melihatku terus. Ah, gay juga ternyata. Tapi aku nggak pengen berurusan sama dia dan buru-buru benerin celana.
“Mau kemana?” tanya dia.
“Mau cari kontol!” jawabku.
Jawabanku yang ceplas-ceplos membuat dia kaget. “Maksudnya?” tanya dia lagi.
“Udah deh, nggak usah pura-pura. Aku tahu kamu juga sakit. Nggak ada cowok normal yang ngeliatin cowok lain kayak kamu” kataku santai sambil cuci tangan di wastafel.
Suasana tiba-tiba hening sejenak, lalu cowok itu bertanya, “Mau nggak sama kontolku?”
Jujur sebenarnya aku pengen cepet-cepet keluar dari sana. Lagian aku juga nggak tahu kontolnya kayak gimana soalnya tadi sama sekali nggak perhatiin waktu dia kencing. Tapi melihat pantulan wajahnya di cermin yang seolah memelas membuatku luluh juga.
“Okeh, tapi nggak pake lama ya” kataku. Merasa mendapat lampu hijau, cowok itu menarikku dengan kasar ke salah satu bilik di toilet itu. Setelah dikunci dari dalam, cowok itu langsung membuka resleting celananya, dan TUING! Dari lubang resleting itu keluarlah kontolnya yang sudah tegak menantang. Nggak ada yang istimewa. Ukuran normal.
Aku mulai mengocok kontolnya sementara cowok itu membuka celana jeans dan celana dalamku dan melakukan hal yang sama pada kontolku. Kami saling mengocok satu sama lain selama beberapa menit, hingga tiba-tiba cowok yang dari penampilannya tampak seperti mahasiswa itu mengeluarkan sebungkus kondom dari saku celananya.
“Ahh, nggak nggak. Aku nggak mau” kataku. Aku hendak keluar dari bilik itu, tapi tangan cowok itu memegang lenganku kuat-kuat. “Sakit!” kataku berusaha melepaskan cengkeraman tangannya, tapi cowok itu tak bergeming. “Ayolah, jangan sok jual mahal. Aku lagi pengen” katanya.
Terang saja nyaliku langsung ciut. Homo-homo sekarang udah pada gila. Yang jelas aku nggak mau kenapa-kenapa. Nyesel banget tadi nggak langsung cabut aja. Tapi nasi udah jadi bubur. Aku pun nggak berontak lagi. Seenggaknya aku bisa ngentot hari ini, pikirku dalam hati.
Aku disuruhnya memasang kondom ke kontolnya. Begitu terpasang, aku lantas menurunkan celana jeans dan celana dalamku hingga lutut dan memutar menghadap toilet bowl. JLEB! Tanpa aba-aba, cowok bertampang ndeso itu langsung saja menghujami anusku dengan kontolnya.
“Ahhh!! Ahhhh!!” erangku.
“Gimana? Enak kan kontolku?” katanya sambil menampar pantatku sesekali.
“Ahhh! Fuck! Iyaahhh! Ahhh! Ahhh!!” erangku lagi.
Bertumpu pada kedua lenganku yang sedang memegang sisi-sisi toilet bowl, aku terus menungging menerima hajaran kontol cowok yang bahkan belum kuketahui namanya itu. Suara eranganku dan desahan cowok itu menggema di seluruh toilet. Tapi, baru sepuluh menit berlalu, tiba-tiba terdengar suara orang masuk. Kami langsung berhenti membuat suara. Suara langkah kaki itu berjalan tepat ke samping bilik kami. Meski begitu, cowok itu tak menurunkan tempo goyangannya. Hal itu membuatku mengerang tertahan.
Begitu suara itu pergi, cowok itu memintaku berubah posisi. Kali ini dia duduk di toilet bowl sementara aku duduk di atasnya. Kedua kakiku bertumpu pada pahanya, dan dengan cara itu aku bergerak naik dan turun. Merasa tak aman denga posisi itu, akhirnya kakiku kuturunkan, lalu dengan berpijak pada lantai, aku semakin cepat menggoyang selangkangannya. Cowok itu membantuku dengan mengocok kontolku dari belakang.
Aku menelusupkan tanganku ke dalam T-Shirt hijauku. Kupelintir putingku dengan kedua tanganku.
“Uughhh! Ssshh! Ahhh!! Uughhh!!”
Aku makin menggila. Kontol dimana-mana pasti enak. Nggak peduli cowok ganteng atau jelek, tetep aja mantap! Naik-turunnya tubuhku makin cepat. Tapi kegilaan kami belum berakhir. Rupanya cowok itu menginginkan posisi baru. Dituntunnya aku untuk tidur di lantai toilet. Lalu, dari bawah dia menggenjot anusku kembali. Bisa kalian bayangkan betapa sempitnya bilik itu. Berkali-kali lenganku membentur dinding bilik dan membuat keributan. Belum lagi punggungku jadi sedikit basah gara-gara tiduran di lantai toilet.
“Ahh, no! Ohhh, shit!!” CROT! CROT! CROT! Kontolku menyemburkan pejuh hingga basah mengenai T-Shirtku.
Melihat aku sudah klimaks, genjotan cowok itu pun makin liar. Begitu kecepatannya mencapai yang tertinggi, cowok itu melepaskan kontolnya. Dia melepaskan kondomnya dan dekatinya kontolnya dengan kontolku yang sudah layu. “Ssshhh... ahhhh... Mmmhhh...” erang dia sambil mengocok kontolnya sendiri dengan cepat. Lalu, CROT! CROT!! CROTTT!!! Akhirnya cowok itu juga berhasil mengeluarkan pejuhnya.
Sampai saat ini, aku nggak tahu siapa namanya, karena dia buru-buru benerin celana dan langsung pergi entah kemana.
***
Untuk para pembaca, terus ikuti cerita-cerita dalam seri “Pengakuan” ya. Makasih sudah membaca. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar